Monday, March 31, 2014

Cermin Kualitas Pendidikan Bangsa



Berbicara mengenai pendidikan di Indonesia tentunya pendidikan bangsa ini masih dalam tahap proses pembenahan. Kondisi pendidikan Indonesia masih jauh posisinya di dunia. Menurut data dari indeks pembangunan, pendidikan di Indonesia berada dalam posisi ke 69 dari 127 negara di dunia. Data ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia masih sulit untuk menembus peringkat terbaik.
Belajar dari sang perimadona pendidikan, Finlandia, negara yang menjadi guru terbaik bagi pendidikan di dunia. Indonesia masih harus belajar dari negara pendidik ini, mulai dari pembenahan kurikulum, sistem, bahkan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Sumber daya manusia yang terampil dan memang ahli di bidangnya sudah menjadi aset besar bagi Finlandia. Bagaimana tidak, profesi guru di negara pendidik itu merupakan profesi yang sangat mulia dan kompetitif sekali untuk mendapatkannya.
Bercermin dari mereka, bangsa ini masih jauh terbelakang dari sisi sumber daya manusianya. Untuk menjadi seorang pendidik di Indonesia seolah menjadi pilihan terakhir daripada mereka tidak mendapat kerja. Ketika Finlandia  mewajibkan tenaga pendidik untuk tingkat Sekolah Dasar adalah lulusan S2, namun di Indonesia ‘asal bisa’ mengajar maka dia diperbolehkan. Akhirnya banyak guru-guru ‘cabutan’ yang dipaksa harus mengajar, bisa karena teknis bukan karena hati nurani. Apabila pendidik mengajar ala kadarnya tentulah siswa yang dididik juga akan ala kadarnya.
Sistem pendidikan di Indonesia terlihat belum ada kemajuan dari tahun ke tahun, pemerintah sibuk melakukan perbaikan kurikulum tetapi lupa dengan sistem pelaksanannya. Celakanya, para siswa di negara ini tidak sadar telah dituntut untuk selalu berorientasi pada hasil bukan pada proses untuk mendapatkannya. Siapa yang tidak mau lulus dengan nilai Ujian Nasional yang baik, siapa yang tidak mau naik kelas dengan peringkat yang baik. Inilah kacamata hitam pendidikan di negeri ini, Ranking dan ujian yang diterapkan untuk mengukur seberapa pintar mereka ternyata suatu momok yang mematikan secara perlahan. Para siswa dituntut untuk berlomba mendapatkan hasil terbaik agar bisa naik kelas dan lulus, menghalalkan segala cara untuk mendapatkannya. Sekolah tiga atau enam tahun namun hanya ditentukan oleh beberapa hari. Bukankah itu tidak adil ?  Namun sistem ini sudah membudaya dan menjadi darah dalam pendidikan di negeri ini.
Sederet fakta logis yang telah ditemukan tentang kemudaratan sistem perankingan atas dasar nilai rata-rata. Rupanya dengan adanya sistem perankingan atas dasar nilai rata-rata akan menuntut siswa memperjuangkan hasil yang baik dengan mengesampingkan proses. Mereka tidak segan-segan untuk berbuat curang. Bagi yang mendapatkan ranking terbaik biasanya akan mendapat perlakuan istimewa dari gurunya. Bukan hanya itu, yang mendapat ranking terendah juga akan mendapat perlakuan istimewa biasanya berupa sindiran dari sang guru sehingga timbul perbandingan.
Membandingkan kemampuan yang berbeda, lalu salah satunya menjadi parameter atau tolak ukur bagi yang lain adalah tindakan tidak adil. Apalagi bila nilai seorang anak ditentukan oleh nilai temanya, di samping tidak adil, cara demikian juga tidak valid. Kekeliruan logika yang selama ini berjalan, apabila seorang anak perlu  remedial karena ia belum tuntas mencapai KKM, maka setelah mengikuti kegiatan pembelajaran remedial, nilai perolehannya maksimum hanya pada KKM saja. Sangat ironis sistem pendidikan di negara ini, walaupun secara kompetensi sangat mungkin ia mencapai tingkatan yang lebih tinggi dari temannya yang lebih dulu tuntas, namun ketuntasannya tidak diakui hanya karena dia ikut remedial. Untuk itu anak remedial tidak boleh lebih baik dari anak yang lebih dulu tuntas. Dunia pendidikan kita saat ini ingin mengkondisikan sekali anak jatuh, harus jatuh selamanya, kalau ia berhasil bangkit, ia dicurigai berbuat curang atau menyontek. Kita harus menghentikannya.
Keriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang diterapkan di Indonesia dijadikan sebagai tolak ukur kenaikan kelas sehingga  menyebabkan siswa yang gagal tes harus mengikuti tes remidial dan masih ada yang tinggal kelas. Sebaliknya, Finlandia menganut kebijakan automatic promotion, naik kelas otomatis. Guru siap membantu siswa yang tertinggal sehingga semua naik kelas. Jika Indonesia menerapkan sistem yang sama seperti di Finlandia, maka ada kemungkinan besar mutu pendidikan kita akan lebih baik. Realitanya guru-guru di Indonesia tidak sabar menemani siswa yang tertinggal sampai ia naik kelas. Tak sedikit guru yang meninggikan nilai siswanya agar bisa naik kelas, berbekal belas kasihan mereka melakukanya. Mereka tidak sadar bahwa tindakan mereka akan membunuh fungsi pendidikan di Indonesia.
Majunya pendidikan suatu bangsa tidak terlepas dari peran aktif pemerintahnya. Peran pemerintah untuk pendidikan di Indonesia sudah tersurat dalam Undang Undang kependidikan. Setiap warga negara kebangsaan Indonesia wajib menerima pendidikan dan pemerintah harus menunjang pembiayaan pendidikan tersebut. Pemerintah secara perlahan sudah menata pendidikan dengan cara menata profesionalisme guru, memperbaiki kuliatas tenaga pendidik, gaji pendidik dan perbaikan infrastruktur secara terus menerus. Akan tetapi upaya ini belum diimplementasikan secara merata. Masih banyak daerah-daerah terpencil, terluar dan tertinggal yang kurang cukup asupan pendidikannya. Tidak hanya itu, pendistribusian dana BOS dan gaji guru masih sangat dikesampingkan untuk daerah 3T tersebut.
Pemerintah sudah cukup tanggap mengatasi keterbelakangan pendidikan di daerah 3T (terpencil, terluar,tertinggal). Mereka mengadakan program SM3T yaitu Sarjana Mendidik di daerah terpencil, terluar dan tertinggal yang diperuntukkan untuk sarjana S1 yang ingin menguji nyali seberapa profesional mereka dalam mendidik. Program ini sangat baik sebagai upaya untuk memerangi kebodohan dan melakukan pemerataan pendidikan di Indonesia.Di sisi lain bantuan beasiswa yang diberikan kepada masyarakat yang kurang mampu rupanya terkadang tidak tepat sasaran. Kasus ini umumnya terjadi di ibukota, penyeleksian terhadap penerima beasiswa kurang ketat penerapannya. Sehingga dengan mudah masyarakat memalsukan surat-surat pengajuan. Munculah kesenjangan terhadap upaya pemerintah ini. Jadi pemerintah harus melakukan pembenahan realistis terhadap kualitas pendidikan di Indonesia dengan memperhatikan segala sudut untuk menyalakan api intelektual lewat pendidikan.
Kuliatas pendidikan semakin tahun semakin memprihatinkan. Daya juang siswa dari tahun ke tahun ternyata semakin mengalami penurunan. Diberlakukannya sekolah gratis ternyata berdampak negatif pada beberapa siswa, semakin banyak siswa yang menomorduakan sekolahnya. Seharusnya kebijakan pendidikan dapat menciptakan manusia  yang bisa melakukan hal baru, tidak sekadar mengulang apa yang telah dilakukan generasi sebelumnya. Jika semakin banyak permasalahan seharusnya kita bisa menengok dengan cepat ke arah kurikulum pendidikan negari ini.
Sistem pendidikan atau kurikulum bisa menjadi titik ledakan keberhasilan pendidikan di suatu negara. Negara yang baik pendidikannya, akan baik juga kurikulum yang diterapkannya. Bagaimana dengan nasib kurikulum di sekolah kita? Yang jelas, setiap kali ada perubahan kurikulum, setiap itu pula masyarakat resah, guru resah, murid resah. Hanya ada satu orang yang tidak resah, yaaitu orang paham sejatinya tentang kurikulum. Ini pertanda ada yang salah dalam pemahaman kita tentang apa sejatinya kurikulum itu. Kurikulum yang baik adalah yang mampu merespon perubahan kehidupan yang berlangsung secara terus-menerus. Sepanjang sejarah perubahan kurikulum di negeri ini selalu dijadikan kambing hitam. Ketika kurikulum tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan, kurikulum dituding menjadi penyebabnya. Sementara manusianya tidak mau berbenah diri.
Sistem yang ada ,melahirkan hasil yang ada. Jika diinginkan hasil yang lain, sistem harus diubah. Sebagian guru tidak mampu keluar dari ‘budaya petunjuk’ hingga kreativitasnya terpasung. Keadaannya lebih menonjolkan keseragaman proses dari metode pembelajaran. Proses yang demikian mengakibatkan pendidikan berjalan secara mekanis dan tercabut dari budaya yang menjadi akarnya. Ini membuat pendidikan seakan terpisah dari dunia kehidupan yang  nyata. Pendidikan seolah hanya rutinitas pengisi waktu menuju baya.  Belum dirasakan apa manfaat sesungguhnya. Apa yang diperoleh melalui pengalaman belajar belum bisa menjadi arahan yang jelas ke mana mereka akan melangkah. Ironis !

Sistem pendidikan di Indonesia bisa dengan cepat meningkatkan kualitas pendidikan apabila berjalan secara efektif dengan membebaskan pengelolaan pendidikan dari tekanan birokratis, hindarkan berbagai bentuk keseragaman, dan bebaskan setiap keputusan dari ambisi sekelompok orang tertentu. Pendidikan milik semua, dan semua orang berhak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Pendidikan yang humanis mungkin tinggal impian dan harapan jika sistem yang berlaku saat ini tidak diubah, karena “sistem yang ada melahirkan hasil yang ada. Jika diinginkan hasil yang lain, sistem harus diubah”. Peningkatkan kualitas pendidikan akan semakin nyata.

No comments:

Post a Comment