Berbicara mengenai
pendidikan di Indonesia tentunya pendidikan bangsa ini masih dalam tahap proses
pembenahan. Kondisi pendidikan Indonesia masih jauh posisinya di dunia. Menurut
data dari indeks pembangunan, pendidikan di Indonesia berada dalam posisi ke 69
dari 127 negara di dunia. Data ini menunjukkan bahwa pendidikan di Indonesia
masih sulit untuk menembus peringkat terbaik.
Belajar dari sang
perimadona pendidikan, Finlandia, negara yang menjadi guru terbaik bagi pendidikan
di dunia. Indonesia masih harus belajar dari negara pendidik ini, mulai dari
pembenahan kurikulum, sistem, bahkan dari tujuan pendidikan itu sendiri. Sumber
daya manusia yang terampil dan memang ahli di bidangnya sudah menjadi aset
besar bagi Finlandia. Bagaimana tidak, profesi guru di negara pendidik itu
merupakan profesi yang sangat mulia dan kompetitif sekali untuk mendapatkannya.
Bercermin dari mereka,
bangsa ini masih jauh terbelakang dari sisi sumber daya manusianya. Untuk
menjadi seorang pendidik di Indonesia seolah menjadi pilihan terakhir daripada
mereka tidak mendapat kerja. Ketika Finlandia
mewajibkan tenaga pendidik untuk tingkat Sekolah Dasar adalah lulusan
S2, namun di Indonesia ‘asal bisa’ mengajar maka dia diperbolehkan. Akhirnya
banyak guru-guru ‘cabutan’ yang dipaksa harus mengajar, bisa karena teknis
bukan karena hati nurani. Apabila pendidik mengajar ala kadarnya tentulah siswa
yang dididik juga akan ala kadarnya.
Sistem pendidikan di
Indonesia terlihat belum ada kemajuan dari tahun ke tahun, pemerintah sibuk melakukan
perbaikan kurikulum tetapi lupa dengan sistem pelaksanannya. Celakanya, para
siswa di negara ini tidak sadar telah dituntut untuk selalu berorientasi pada
hasil bukan pada proses untuk mendapatkannya. Siapa yang tidak mau lulus dengan
nilai Ujian Nasional yang baik, siapa yang tidak mau naik kelas dengan
peringkat yang baik. Inilah kacamata hitam pendidikan di negeri ini, Ranking
dan ujian yang diterapkan untuk mengukur seberapa pintar mereka ternyata suatu
momok yang mematikan secara perlahan. Para siswa dituntut untuk berlomba
mendapatkan hasil terbaik agar bisa naik kelas dan lulus, menghalalkan segala
cara untuk mendapatkannya. Sekolah tiga atau enam tahun namun hanya ditentukan
oleh beberapa hari. Bukankah itu tidak adil ?
Namun sistem ini sudah membudaya dan menjadi darah dalam pendidikan di
negeri ini.
Sederet fakta logis
yang telah ditemukan tentang kemudaratan sistem perankingan atas dasar nilai
rata-rata. Rupanya dengan adanya sistem perankingan atas dasar nilai rata-rata
akan menuntut siswa memperjuangkan hasil yang baik dengan mengesampingkan
proses. Mereka tidak segan-segan untuk berbuat curang. Bagi yang mendapatkan
ranking terbaik biasanya akan mendapat perlakuan istimewa dari gurunya. Bukan
hanya itu, yang mendapat ranking terendah juga akan mendapat perlakuan istimewa
biasanya berupa sindiran dari sang guru sehingga timbul perbandingan.
Membandingkan kemampuan
yang berbeda, lalu salah satunya menjadi parameter atau tolak ukur bagi yang
lain adalah tindakan tidak adil. Apalagi bila nilai seorang anak ditentukan
oleh nilai temanya, di samping tidak adil, cara demikian juga tidak valid.
Kekeliruan logika yang selama ini berjalan, apabila seorang anak perlu remedial karena ia belum tuntas mencapai KKM,
maka setelah mengikuti kegiatan pembelajaran remedial, nilai perolehannya
maksimum hanya pada KKM saja. Sangat ironis sistem pendidikan di negara ini,
walaupun secara kompetensi sangat mungkin ia mencapai tingkatan yang lebih
tinggi dari temannya yang lebih dulu tuntas, namun ketuntasannya tidak diakui
hanya karena dia ikut remedial. Untuk itu anak remedial tidak boleh lebih baik
dari anak yang lebih dulu tuntas. Dunia pendidikan kita saat ini ingin
mengkondisikan sekali anak jatuh, harus jatuh selamanya, kalau ia berhasil
bangkit, ia dicurigai berbuat curang atau menyontek. Kita harus menghentikannya.
Keriteria
Ketuntasan Minimal (KKM) yang diterapkan di Indonesia dijadikan sebagai tolak
ukur kenaikan kelas sehingga menyebabkan siswa yang gagal tes harus
mengikuti tes remidial dan masih ada yang tinggal kelas. Sebaliknya, Finlandia
menganut kebijakan automatic promotion, naik kelas otomatis. Guru
siap membantu siswa yang tertinggal sehingga semua naik kelas. Jika Indonesia
menerapkan sistem yang sama seperti di Finlandia, maka ada kemungkinan besar
mutu pendidikan kita akan lebih baik. Realitanya guru-guru di Indonesia tidak
sabar menemani siswa yang tertinggal sampai ia naik kelas. Tak sedikit guru
yang meninggikan nilai siswanya agar bisa naik kelas, berbekal belas kasihan
mereka melakukanya. Mereka tidak sadar bahwa tindakan mereka akan membunuh
fungsi pendidikan di Indonesia.
Majunya pendidikan
suatu bangsa tidak terlepas dari peran aktif pemerintahnya. Peran pemerintah
untuk pendidikan di Indonesia sudah tersurat dalam Undang Undang kependidikan.
Setiap warga negara kebangsaan Indonesia wajib menerima pendidikan dan
pemerintah harus menunjang pembiayaan pendidikan tersebut. Pemerintah secara perlahan
sudah menata pendidikan dengan cara menata profesionalisme guru, memperbaiki
kuliatas tenaga pendidik, gaji pendidik dan perbaikan infrastruktur secara
terus menerus. Akan tetapi upaya ini belum diimplementasikan secara merata.
Masih banyak daerah-daerah terpencil, terluar dan tertinggal yang kurang cukup
asupan pendidikannya. Tidak hanya itu, pendistribusian dana BOS dan gaji guru
masih sangat dikesampingkan untuk daerah 3T tersebut.
Pemerintah sudah cukup
tanggap mengatasi keterbelakangan pendidikan di daerah 3T (terpencil,
terluar,tertinggal). Mereka mengadakan program SM3T yaitu Sarjana Mendidik di
daerah terpencil, terluar dan tertinggal yang diperuntukkan untuk sarjana S1
yang ingin menguji nyali seberapa profesional mereka dalam mendidik. Program
ini sangat baik sebagai upaya untuk memerangi kebodohan dan melakukan
pemerataan pendidikan di Indonesia.Di sisi lain bantuan beasiswa yang diberikan
kepada masyarakat yang kurang mampu rupanya terkadang tidak tepat sasaran.
Kasus ini umumnya terjadi di ibukota, penyeleksian terhadap penerima beasiswa
kurang ketat penerapannya. Sehingga dengan mudah masyarakat memalsukan
surat-surat pengajuan. Munculah kesenjangan terhadap upaya pemerintah ini. Jadi
pemerintah harus melakukan pembenahan realistis terhadap kualitas pendidikan di
Indonesia dengan memperhatikan segala sudut untuk menyalakan api intelektual
lewat pendidikan.
Kuliatas pendidikan
semakin tahun semakin memprihatinkan. Daya juang siswa dari tahun ke tahun
ternyata semakin mengalami penurunan. Diberlakukannya sekolah gratis ternyata
berdampak negatif pada beberapa siswa, semakin banyak siswa yang menomorduakan
sekolahnya. Seharusnya kebijakan pendidikan dapat menciptakan manusia yang bisa melakukan hal baru, tidak sekadar
mengulang apa yang telah dilakukan generasi sebelumnya. Jika semakin banyak
permasalahan seharusnya kita bisa menengok dengan cepat ke arah kurikulum
pendidikan negari ini.
Sistem pendidikan atau
kurikulum bisa menjadi titik ledakan keberhasilan pendidikan di suatu negara.
Negara yang baik pendidikannya, akan baik juga kurikulum yang diterapkannya.
Bagaimana dengan nasib kurikulum di sekolah kita? Yang jelas, setiap kali ada
perubahan kurikulum, setiap itu pula masyarakat resah, guru resah, murid resah.
Hanya ada satu orang yang tidak resah, yaaitu orang paham sejatinya tentang
kurikulum. Ini pertanda ada yang salah dalam pemahaman kita tentang apa
sejatinya kurikulum itu. Kurikulum yang baik adalah yang mampu merespon
perubahan kehidupan yang berlangsung secara terus-menerus. Sepanjang sejarah
perubahan kurikulum di negeri ini selalu dijadikan kambing hitam. Ketika
kurikulum tidak mampu meningkatkan kualitas pendidikan, kurikulum dituding
menjadi penyebabnya. Sementara manusianya tidak mau berbenah diri.
Sistem yang ada
,melahirkan hasil yang ada. Jika diinginkan hasil yang lain, sistem harus
diubah. Sebagian guru tidak mampu keluar dari ‘budaya petunjuk’ hingga
kreativitasnya terpasung. Keadaannya lebih menonjolkan keseragaman proses dari
metode pembelajaran. Proses yang demikian mengakibatkan pendidikan berjalan
secara mekanis dan tercabut dari budaya yang menjadi akarnya. Ini membuat
pendidikan seakan terpisah dari dunia kehidupan yang nyata. Pendidikan seolah hanya rutinitas
pengisi waktu menuju baya. Belum
dirasakan apa manfaat sesungguhnya. Apa yang diperoleh melalui pengalaman
belajar belum bisa menjadi arahan yang jelas ke mana mereka akan melangkah.
Ironis !
Sistem pendidikan di
Indonesia bisa dengan cepat meningkatkan kualitas pendidikan apabila berjalan
secara efektif dengan membebaskan pengelolaan pendidikan dari tekanan
birokratis, hindarkan berbagai bentuk keseragaman, dan bebaskan setiap
keputusan dari ambisi sekelompok orang tertentu. Pendidikan milik semua, dan
semua orang berhak dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan. Pendidikan yang
humanis mungkin tinggal impian dan harapan jika sistem yang berlaku saat ini
tidak diubah, karena “sistem yang ada melahirkan hasil yang ada. Jika
diinginkan hasil yang lain, sistem harus diubah”. Peningkatkan kualitas
pendidikan akan semakin nyata.